Pelaku Aksi Mimbar Bebas di Kampus USTJ, Dituntut 18 Bulan Tahun Penjara
Pojokindo – Terdakwa Yoseph Ernesto, Devio Tekege, dan Amborsius Fransiskus Elopere, selaku pelaku dugaan tindak pidana makar, atas aksi mimbar bebas di Kampus USTJ pada 10 november 2022 lalu dijatuhi tuntutan pidana selama 1 tahun 6 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum. Atau ketiganya terbukti telah melanggar pasal 106, KUHP, Junto pasal 55 ayat 1, ke-1 KUHP.
Tuntutan itu didasari karena, aksi mimbar bebas yang mereka gelar di Kampus USJT itu, para terdakwa membawa dan membentangkan bendera bintang kejora, serta selama pemeriksaan dipersidangan tidak terungkap adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar.
Sehingga para terdakwa dianggap sebagai orang yang mampu berantanggung jawab atas perbuatan mereka. Dan perbuatan para terdawka dianggap sebagai perbuatan yang melawan hukum, oleh sebab itu para terdakwa harus dituntut sesuai dengan kesalahannya.
Adapun dasar tuntutan JPU, lantaran para terdakwa merupakan residivis, selain itu perbuatan para terdakwa ingin memisahkan diri dari NKRI, serta perbuatan para terdawa meresahkan masyarakat. Sementara hal yang meringankan para terdakwa karena selama persidangan para terdakwa bersikap sopan, kemudian para terdakwa mengakui perbuatannya, dan para terdakwa masih mudah yang tentunya masih bisa memperbaiki kelakuann mereka, serta para terdakwa masih berstatus mahasiswa USTJ Papua.
“Kami harap majelis hakim dapat memeriksa dan mengadili perkara ini,”kata Achamad Kobarubun, selaku jaksa penunut umum, saat sidang pembacaan tuntutan terhadap para terdakwa duggan makar, di PN Jayapura, Selasa (18/7).
Menganggapi tuntutan tersebut Emanuel Gobay, selaku penasehat hukum dari para terdakwa mengaku kecewa atas tuntutan jaksa, sebeb fakta yang mereka temukan dalam persidangan bahwa tindakan para, tidak melanggar hukum. sebab mereka melakukan aksi demontrasi dalam bentuk mimbar bebas, untuk memperingati hari kematian toko papua Theys Hiyo Elauay dan menolak rencana komnas HAM, berdialog di Papua, untuk menyelesaikan persoalan HAM di Papua.
Menurut Emanuel dari dua isu besar yang menjadi agenda aksi para terdakwa dengan pendemonstrasi lainnya sangat jelas tidak ada prihal tentang papua merdeka. Sehingga dia menilai tuntuan JPU, yang menyebut aksi tersebut bagian dari tindakan makar merupakan sesuatu yang salah, dan keliru.
“Kami akan sampaikan pembelaan kami pada siding berikutnya, 25 juli mendatang,” ujar Emanuel usai sidang berlangsung.
Diapun mengatakan tuntutan JPU, terhadap para terdawka tidak berdasarkan fakta persidangan, namun hanya ingin memberatkan para terdakwa. Bahkan dia mempertanyakan dasar dari dalil jaksa yang menggunakan dalil makar.
Sebab sebagian besar fakta persidangan, baik keterangan saksi fakta yang membeeratakan para terdakwa yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum maupun keterangan para terdakwa sendiri tidak satupun berbicara terakit adanya dugaan makar saat melakukan aksi di Kampu USTJ Ketika itu, namun sayangnya jaksa justru mengultimatum aksi tersebut sebagai Tindakan makar.
“Dengan melihat dalil jaksa pada tunutan ini, kita kemudian menduga jaksa mungkin punya permasalan tersendri kepada orang papua, sebab setiap kali ada terdakwa atas persoalan aksi demontrsasi selalu saja mendalilkan itu sebagai Tindakan makar, padahal aksi demontrasi jelas diatur dalam UU,” bebernya.