NewsPolitik

Tokoh Pemuda Wouma-Walesi Somasi Wapres RI, soal penempatan pusat perkantoran Papua Pegunungan

PojokIndo.com – Tokoh Pemuda asal Wouma yang juga merupakan salah satu pemilik Tanah Adat Wouma, Benyamin Lagowan mensomasi Wakil Presiden Republik Indonesia , Prof. KH Ma’ruf Amin.

Dia minta  ada peninjauan kembali rencana penempatan pusat pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan di tanah Masyarakat Adat Wouma-Walesi. Karena dinilai dilakukan tanpa prosedur hukum, etik, norma adat dan moral berkehidupan berbangsa dan bernegara.

“Bersama dengan situasi yang dialami oleh warga setempat sehingga kami telah melakukan somasi yang kelima ini, terkait dengan lokasi tempat direncanakan penempatan pusat pemerintahan Prov. Papua Pegunungan, sehingga izinkan kami pemilik/ahli waris tanah adat di Wouma, kami mewakili sebagian besar (mayoritas) masyarakat adat aliansi sub suku Wio yang mendiami kota Wamena dan sekitarnya, yang terdistribusi di tiga Distrik (kecamatan) utama yakni: distrik Wamena Kota, Wouma dan Wesaput menolak cara-cara tidak beradab  yang telah sedang dilakukan oleh Wakil Menteri Dalam negeri RI, John Wempi Wetipo (JWW) beberapa oknum di Wilayah Wouma dan Walesi dalam seluruh rangkaian proses penempatan kantor pusat pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan, yang tidak sesuai dengan norma adat masyarakat adat setempat”katanya kepada Jubi melalui somasinya yang diterima jubi melalui layanan Whatsapp, Senin (28/8/2023).

Lagowan mengatakan,  sejak tahun 1956 warga masyarakat kabupaten Jayawijaya khususnya masyarakat adat aliansi Wouma, wilayah adat suku Wio telah menjadi pusat pembangunan kota Wamena. Hanya saja di lahan yang ditetapkan pemerintah untuk membangun pusat perkantoran itu merupakan lahan pertanian masyarakat adat setempat.

“Pada prinsipnya, kami tidak menolak hadirnya pembangunan apa pun, bukti konkritnya bisa dilihat hampir 90 persen, sejak tahun 1956 aliansi Wouma wilayah adat suku Wio telah menjadi pusat pembangunan kota Wamena Kabupaten Jayawijaya. Oleh karena itu, masyarakat adat yang masih menggantungkan harapan hidup (ekonomi, pangan lokal) dari tanah adat Wouma meminta dengan hormat kepada bapak Wapres dan jajarannya agar tidak lagi mengambil lahan sisa masyarakat adat aliansi Wio itu,” katanya.

Lagowan mengatakan,besar harapan masyarakat agar sedikit lahan  yang tersisa tersebut dilindungi untuk konteks kepentingan pembangunan non infrastruktur seperti pembangunan lahan perkebunan dan pertanian, guna mencapai ketahanan pangan lokal sebagaimana pencanangan pengembangan pangan non beras melalui gerakan diversifikasi pangan yang telah dicanangkan Presiden SBY yang didukung presiden Jokowi lewat PP tahun 2012 lalu.

“Kami mengetengahkan usulan penempatan kantor gubernur di wilayah/lahan milik pemerintah seperti lokasi LIPI-Gunung susu Wamena atau lokasi lainnya yang di atasnya atau di sekitarnya tidak sedang dikelola oleh masyarakat adat, sebagai lahan sumber pangan lokal dan masih jarang dari pemukiman dan aktivitas penduduk lokal setempat,” katanya.

Lagowan mengatakan,  pemilihan lokasi di Wouma-Walesi harus ditinjau ulang dan dibicarakan ulang. Karena di sekitar lahan tersebut dikenal memiliki nilai sejarah sebagai tempat-tempat sakral berdasarkan sejarah mitologis tertentu dimasa lalu dari suku-suku di Wamena.

“Lahan yang akan dipakai merupakan lahan kosong tersisa yang hampir sepenuhnya (90 persen) masih digunakan  masyarakat adat untuk menanam tanaman pangan lokal seperti ubi jalar, keladi, singkong, sayur-sayuran dan buah-buahan. Masyarakat masih menggunakan sistem pertanian berpindah-pindah sehingga semua lahan yang ada masih dikelola,”katanya.

Lagowan menilai, penempatan pembangunan pusat perkantoran ini diduga ada muatan unsur pembalasan dendam konflik perang suku masa lalu, oleh para aktor yang terlibat dalam penempatan pusat kantor Gubernur yang sepihak dan tidak demokratis.

]“Kami menilai bahwa ada unsur kepentingan antar elit politisi dan pengusaha tertentu yang dapat menyebabkan masyarakat adat Wio-Wouma dan Walesi terdampak kepentingan dimaksud. Berbagai kepentingan dimaksud telah diserahkan kepada PJ Gubernur PPP yang intinya meminta jatah jabatan dan posisi tertentu secara tersembunyi,”katanya.

Lagowan mengatakan, dari awal hingga akhir pemufakatan atas lahan tempat rencana penempatan pusat pemerintahan Papua Pegunungan tidak mengakomodir berbagai klan, sub suku di dua aliansi tersebut. Di aliansi Wio-Wouma dari 8 klan sub suku hanya 3  saja yang terlibat. sedangkan  5 klan  tidak dilibatkan.

“Di Welesi dari 5 klan hanya dua  yang setuju utuh. Sedangkan 3 klan masih ada keberatan. Jaringan komunikasi/konsultasi yang digunakan lebih mengarah pada jaringan kelompok kepentingan tertentu dengan menggunakan cara-cara kerja mafia. Beberapa oknum yang dipakai sebagai kepala suku dan aktor dilapangan, tidak memiliki hak atas tanah adat tersebut,”katanya.

Lagowan mengatakan, patut disampaikan kepada Bapak Wakil Presiden selaku ketua badan percepatan pembangunan Papua, tidak semua laporan dari anak buah bapak dari Papua dapat dipercaya dengan begitu saja. Sebab banyak yang kami jumpai kondisi faktual di lapangan tidak sesuai harapan dan ekspektasi masyarakat tetapi laporan yang masuk kerap lebih yang enak didengar alias bagus-bagus.

“Sebagai contoh polemik penempatan kantor gubernur PPP ini yang sudah memasuki 1 tahun lebih oleh karena kegagalan anak buah bapak dalam mengimplementasikan UU No. 02 Tahun 2012 tentang Penyediaan Tanah Bagi Kepentingan Publik. Dimana tidak pernah diadakan sosialisasi dan konsultasi publik yang bermakna dengan seluruh elemen masyarakat adat Wio/Wouma-Walesi. Meskipun diadakan masih bersifat rahasia, tertutup dan sembunyi,” katanya.

Lagowan mengatakan bahwa, besar harapan masyarakat adat yang sudah tentu akan terkena dampak 7 turunan atas praktik yang kami sebut pencaplokan lahan, demi penempatan pusat pemerintahan Papua Pegunungan ini, meminta dengan tegas kepada Bapak Wakil Presiden RI dan jajarannya agar menunda dan membatalkan rencana peletakan batu pertama pembangunan kantor Gubernur dll.

“Kami masyarakat adat meminta agar hingga semua elemen masyarakat adat dikumpulkan dan dibahas ulang sesuai kaidah-kaidah dan cara-cara hidup bernegara yang demokratis dan menjunjung tinggi prinsip musyawarah mufakat dan Hak Asasi Manusia,” katanya.

Landasan Hukum

Lagowan mengatakan,aspirasi masyarakat adat ini disampaikan dengan acuan perundang undangan yang diatur dalam negara ini. Patut diakui  tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah demi mensejahterakan seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia telah memformulasikan dan memeteraikannya di dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan di bawahnya.

“Atas dasar itu pula pemerintah dan DPR meski menuai pro dan kontra telah mengesahkan 4 Daerah Otonomi Baru (DOB) di tanah Papua. Disadari bahwa kehadiran DOB (meski masih menjadi kontradiksi) mempunyai sejumlah tujuan baik salah satunya yakni untuk mendekatkan pembangunan ke wilayah timur Indonesia ini-yang sudah lama dianggap masih tertinggal jauh dari wilayah lainnya di Indonesia. Dengan dibentuknya DOB diharapkan akan membawa pemerataan pembangunan dan mendekatkan masyarakat Papua kepada pintu kesejahteraan dan kemaslahatan hidup itu baik baik saja hanya hal hal urgen di masyarakat itu perlu dinegosiasikan dengan baik,” katanya.

Lagowan mengatakan, bapak Wapres, Bapak Menteri, Bapak Ketua Komisi II, Bapak PJ Gubernur PP Yth, sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, semua pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa kita telah disepakati akan dilaksanakan dengan berdasarkan konsensus-konsensus yang mengutamakan nilai-nilai demokrasi dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sehingga tak satupun masyarakat negeri ini yang dilukai atau dipasung haknya sebagai warga negara untuk bersuara atas nasib kehidupannya.

“Dengan demikian harapannya indeks demokrasi negeri ini dan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita tidak dipandang indah di tulisan, tapi buruk di praktik atau dengan kata lain: tulis lain, main dan bicara lain. Sehingga setiap kebijakan dan program negara yang sifatnya Up- Bottom perlu mendengar masukan, pendapat dan saran masyarakat. Ini adalah esensi dari amanat UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan juga UUD 1945 Pasal 28 E. Demikian pula menjunjung tinggi hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B UUD Tahun 1945, Pasal 385 KUHP, Pasal 3 dan Pasal 5 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Pasal 43 UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,” katanya.(

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?