Sudah Dibeli Sejak 1994, dan Masih Lahan Kosong
Pojokindo – Polemik penimbunan di kawasan konservasi hutan mangrove oleh H Syamsunar Rasyid belum usai, pasalnya dirinya mengaku secara sah sebagai pemilik tanah di lokasi tersebut.
Hal itupun didasari dengan bukti surat berupa pelepesan adat dan juga sertifikat atas tanah, dari masing-masing pemilik tanah tersebut.
Diapun menjelaskan dirinya membeli lahan tersebut di tahun 1994, dari dua suku adat yang berbeda, yakni suku Hamadi dan Suku Dawir.
Kemudian di tahun 2009 silam saat dirinya hendak menimbun kawasan tersebut, masyarakat adat suku Afar datang mengklaim tanah tersebut, diapun kembali membayar tanah tersebut kepada yang bersangkutan.
“Ketiganya ini mengklaim kalau tanah itu milik mereka, saya pun sudah membayar lunas kepada mereka, ketiga-tiganyapun membuat surat pelepasan, adat juga dengan sertifikat kepemilikan,” jelas H. Syamsunar Rasyid kepada awak media di Salah satu rumah makan di Abepura, Kamis (13/7) sore.
Selain sertifikat, karena tanah tersebut sempat bermasalah, dan pada akhirnya diapun menang atas gugatan atas persoalan itu, sehingga tanah yang sekarang sedang ditimbun itu, telah memiliki bukti hukum berupa keputusan Mahkamah Agung.
Memang tanah ini cukup banyak permasalahannya, tapi semuanya itu telah mendapatkan putusan tetap dari Mahkama Agung, sehingga secara hukum jelas tanah itu milik saya,” tegas H Syamsunar.
Dia menambahkan pada saat dirinya membeli lahan itu. Kawasan hutan mangrove tersebut masih lahan kosong. Kawasan hutan bakau baru mulai ditanam oleh masyarakat setempat di tahun 2005 silam.
“Itupun pada saat masyarakat menanam pohon bakau di kawasan tersebut mereka tidak pernah meminta izin kepada saya,” ujarnya.
Kemudian terkait penetapan hutan mangrove sebagai hutan lindung, dikatakan bahwa pemerintah tidak melibaktan dirinya untuk membahas hal itu. sehingga diapun merasa bahwa penimbunan itu dilakukan benar adanya. Sesuai aturan yang ada.
“Saya tidak tahu kapan pemerintah tetapkan kawasan hutan mangrove sebagai hutan lindung,” tanyanya.
Sebab, apabila pemerintah menetapkan status hutan tersebut sebagai kawasan hutan lindung (konservasi) seharusnya melibatkan dia sebagai pemilik hak atas tanah. “Tapi yang terjadi mereka (pemerintah) tetapkan hutan lindung secara sepihak,” tandasnya.
Oleh sebab itu diapun mengaku kecewa dengan sikap pihak yang mencegat proses penimbunan tersebut. Sebab menurut dia pihak yang menghalangi pekerjaan penimbunan ini tidak mengetahui sejarah awal terkait tanah tersebut.
Sehingga diapun menegaskan apabila masih ada pihak yang menghalang-halangi ruang bagi nya untuk menguasai tanah tersebut, maka akan diproses secara hukum.
“Saya punya bukti, jadi siapapun yang masih mengahalang halangi saya, maka saya akan gugat mereka semua,” tegasnya.
Sementara terkait keterlibatan aparat keamanan di lokasi penumbunan. H. Syamsunar menjelaskan bahwa aparat keamanan itu ada di lokasi bukan tanpa alasan, tetapi atas dasar permohonannya untuk menghadirkan mereka di lokasi penimbunan. Sebab pada saat pertama kali kawasan itu ditimbun ada pihak yang datang mencegat para pekerja.
Sehingga mengantisipasi terjadinya konflik di lokasi penimbunan, maka dia meminta pertolongan aparat keamanan untuk mengawasi lokasi tersebut guna memberikan rasa aman bagi para pekerja.
“Tidak ada tameng disitu, Brimob hadir di lokasi penimbunan itu atas permohonan saya kepada atasan mereka, itupun mereka hadir hanya untuk memberikan rasa aman bagi para pekerja,” jelasnya.
H Syamsunarpun mengharapkan agar persoalan ini tidak membias kemana-mana, apalagi melibatkan aparat keamanan. Yang notabene tidak mengetahui permasalahan yang sesungguhnya.
“Saya minta jangan salahkan aparat, mereka itu hadir disana atas permintaan saya karena pekerja di lokasi terdapat ancaman dari oknum yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut,” ungkapnya.